Kita Keturunan yang Lolos dari Pandemi 1918-1919

Foto yang diidentikan dengan pandemi 1918-1919. (net)
Foto yang diidentikan dengan pandemi 1918-1919. (net)

HARIAN Sumatera Bode tanggal 23 Juli 1918 memperlihatkan keadaan kota Medan yang mencekam karena pendemi virus Influenza. Kepala polisi kota Medan, Inspektur van B. G. D dan wakilnya tewas, rumah sakit kewalahan, jumlah penduduk yang tewas cukup banyak. 

Repro koran Sumatera Bode 1918 koleksi Museum Sejarah Pers Medan ini, di samping memberitakan pendemi di Medan juga memuat kejadian yang sama dan sejumlah korban di Batavia, Surabaya, Madjene dan Makassar. 

Pemerintah karena situasi perang berusaha menutupi atau mengecilkan pemberitaan pers yang ingin mengangkat angka-angka korban yang sebenarnya. Bahkan wafatnya istri Sultan Langkat dan puteri Sultan Serdang mendapat ruang kecil empat baris di koran De Sumatera Post pada 14 November 1918. 

Pendemi ini masuk ke Indonesia, dalam banyak laporan disebutkan lewat pelabuhan pelabuhan di pantai Timur Sumatera Utara sekarang, menyebar ke seluruh Indonesia. Tapi laporan dokter Wilker pada 22 Agustus 1918 di koran Immanuel memperlihatkan jalur masuknya virus ke Sumatera Utara lewat kota pelabuhan Sibolga di pantai Barat. Wajar jika Sumatera Utara termasuk yang babak belur dihantam oleh pendemi ini. 

Berkepanjangannya PPKM saat ini di Indonesia, adanya tiap menit warga yang wafat karena si Covid, masuknya Indonesia dalam jajaran atas negara-negara tertinggi jumlah harian yang terpapar (seperti dilaporkan harian Kompas belum lama ini), membuat saya merenung dan membongkar bongkar arsip Pendemi 1918-1919. 

Studi tentang Pendemi seabad yang lalu, selama ini termasuk terabaikan dalam studi sejarah. Sedikit sekali yang mengulasnya. Kematian yang disebabkan tragedi itu lebih besar dari korban Perang Dunia Pertama. Waktunya bersamaan tapi sejarah Perang Dunia menyita halaman-halaman buku pelajaran sejarah di manapun. 

Covid-19 ini mulai menyadarkan bahwa ada tragedi penting di kurun waktu itu yang terabaikan dalam pembelajaran sejarah di seluruh dunia. Karena tragedi ini berulang, ada baiknya di masa depan pelajaran sejarah di sekolah-sekolah mengenal narasi tragedi ini. 

Tapi Covid-19 yang menyentak ini, menyebabkan banyak orang mulai melihat apa yang terjadi seabad yang lalu itu. Media sosial, surat kabar, buku, artikel di jurnal ilmiah mulai bermunculan membahas periode kelam itu. 

Riset menunjukkan Indonesia seratus tahun lalu berada pada level atas korban yang tewas, yakni 1.5 juta jiwa meninggal dunia atau sekitar 3 persen dari jumlah penduduknya, sementara yang tertinggi India mencapai 5 persen penduduknya yang tewas. Bandingkanlah angka yang terpapar harian saat ini antara India dengan Indonesia. Seperti tidak beranjak jauh dari segi ranking. 

Masa itu jumlah dokter dan tenaga medis terbatas, pengetahuan dan riset tentang virus masih minim (walau kini jumlah penduduk empat kali lipat dari seabad yang lalu). Pemerintah Hindia Belanda juga dikecam karena awalnya lamban dan menyepelekan pendemi ini. Lalu pemerintah buang badan, malah menyalahkan penduduk yang susah diatur. 

Apakah bedanya dengan kini? Tahun 1918 minggu ke 44-47 merupakan neraka bagi Indonesia. Menurut data pemerintah yang dilaporkan de Sumatera Post pada 25 Januari 1919, dalam 21 hari itu, 416.000 orang tewas karena influenza atau rata-rata perhari 19.800 jiwa melayang. 

Di perkebunan Sumatera Timur, menurut laporan de Sumatera Post 17 Februari 1919, ada 258.110 buruh dari Jawa. Dari jumlah buruh perkebunan itu, wafat karena virus influenza tercatat 5.812 jiwa atau 2 persen dari total buruh perkebunan. 4575 jiwa yang tewas laki laki, perempuan 1237 jiwa. Koran De Sumatera Post mengakhiri beritanya dengan pilu: "Virus Influenza ini mendatangkan malapetaka yang paling parah di kalangan orang Jawa". 

Uniknya selalu ada yang mirip. Pemerintah Belanda mengatakan di harian Sumatera Bode ini, ini penyakit demam biasa, tak usah khawatir. Diksinya seperti bertentangan dengan berita yang diturunkan. Lalu prokesnya mirip dengan kini. Kata siaran pers di koran Sumatera Bode ini:

"Orang biasa tampaknya tidak berpengaruh terhadap penyakit ini, tetapi dengan sangat hati-hati dapat mencegah penyebarannya. Jika Anda merasa demam disertai gangguan pada selaput lendir, maka tugas Anda kepada rekan kerja Anda untuk meninggalkan kantor Anda, pulang dan menghindari anggota keluarga Anda juga. Jika Anda harus batuk atau bersin, lakukan di tempat tempat terpencil. Jika Anda merasa harus batuk atau bersin,  yang terpenting: Jangan meludah ke tanah! Tidak ada alasan untuk khawatir secara khusus tentang penyakit ini, karena sebagian besar hanya sangat mengganggu, seperti influenza di Belanda. Kecuali ada komplikasi dengan penyakit lain. Pengasingan sukarela akan menghentikan perkembangan penyakit, dan sejauh mana penyakit itu berlangsung akan menentukan waktu berapa lama lagi kita menderita karenanya."

Tidak ada masker masa itu. Dan Isolasi mandiri yang disebutkan dalam berita itu, tidak disertai pengobatan mandiri, tidak ada pemberian vitamin, nutrisi dan pengawasan medis dan bantuan ekonomi. Pemerintah lamban kata A Rivai, anggota parlemen Belanda masa itu. Rakyat susah diatur laksanakan prokes, kata pemerintah Belanda. 

Pemberitaan kita saat ini beragam, ada yang dapat pelayanan, banyak yang tidak. Rakyat susah diatur, pemerintah mencari pembelaan juga. Seperti dulu. 

Seharusnyakah kita kini lebih optimis dengan Covid-19 ini akan berakhir? Lalu korban tewas kita nanti tak akan sampai 3 persen seperti seabad yang lalu yang mengerikan itu?

Mudah-mudahan kita adalah yang selamat dan kelak menjadi leluhur dari anak cucu kita yang lebih sehat seabad mendatang. Seperti kita lewat lembaran-lembaran koran usang ini, dapat mengingat leluhur kita dulu yang sebagian besar bisa lepas dari tragedi pahit itu.

| Penulis adalah Sejarawan, Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial (Pussis) Universitas Negeri Medan (Unimed), Sumatera Utara.