Mendalami nasib proyek gasifikasi batubara yang telah diulas oleh Kantor Berita RMOLSumsel sebelum ini, Komunitas Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (K-MAKI) Sumsel juga angkat bicara.
- MAKI Apresiasi Penyelidikan Korupsi Reklamasi Tambang di Kaltim, Desak Tindakan Tegas
- Belum Usai! KPPU Bakal Selidiki Lelang Produksi Batubara PTBA-PAMA
- Truk Tambang Pamapersada Terperosok, Disinyalir Menuju Site Bangko Tengah
Baca Juga
Menurut Deputi K-MAKI Sumsel Feri Kurniawan, proyek ini akan lebih tepat disebut sebagai proyek sim salabim, meskipun baru akan dimulai pada 2024 mendatang. Sebab menurutnya proyek ini tidak layak dari sisi keuntungan karena membutuhkan 6 juta ton batu bara untuk menghasilkan 1,4 juta DME.
Kalaupun untuk memaksimalkan energi terbarukan, maka akan keluar lebih banyak biaya alias subsidi dari pemerintah untuk mencukupi biaya produksi sampai biaya penjualan untuk hasil akhir dari proyek ini, yaitu gas yang akan dinikmati masyarakat.
"Dengan asumsi perbandingan 1:5 akan lebih tepat kalau PTBA mengekspor batubara itu dibanding menjadikannya DME," kata Feri didampingi Koordinator K-MAKI, Boni Belitong. Sebab secara perusahaan, jika hal itu tetap dilakukan, maka PTBA akan mengalami kerugian di tengah harga batubara yang kini sedang bagus.
Kecurigaan Feri beralasan, meski proyek ini baru akan berjalan pada 2024 mendatang. Sebab dirinya meyakini, harga batubara tidak akan berubah signifikan dalam beberapa tahun kedepan. Itu didasarkannya pada geopolitik dunia yang terjadi saat ini.
"Kalau kita sebut biaya produksi saat ini untuk 1 ton batubara butuh Rp 1juta, maka butuh Rp5 juta untuk membuat 1 ton DME yang kemudian proyeksinya dijual seharga Rp5 jutaan juga. Sementara kalau dijual langsung, bisa dapat Rp20 juta. Tidak perlu sekolah tinggi untuk tahu kalau proyek ini bikin rugi," jelas Feri.
Belum lagi pengeluaran tambahan yang belum diperhitungkan seperti ongkos produksi, pajak dan pengeluaran lain yang menurut Feri akan merongrong keuangan negara, yang membuat proyek ini rentan terindikasi korupsi. Sehingga Feri mengaku kalau pihaknya akan memberi atensi terhadap proyek ini. “Jadi kalau saya bilang ini proyek sim salabim,” ucapnya.
Sebelumnya diberitakan, proyek hilirisasi batubara menjadi dymethil ether (DME) adalah Proyek Strategis Nasional (PSN) Pemerintahan Joko Widodo, yang dikerjakan oleh PTBA bekerja sama dengan Pertamnina dan Air Products & Chemicals Inc. (baca: https://www.rmolsumsel.id/menilai-nasib-proyek-gasifikasi-batubara-dan-peningkatan-produksi-ptba-2022-2027-untuk-siapa).
Proyek ini yang berlangsung di Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim Sumsel selama 20 tahun dengan total investasi sebesar USD2,1 juta atau setara Rp30 triliun. Bahkan, dalam keterangan yang disampaikan PTBA pada 2021 lalu, proyek ini akan mengutilisasikan 6 juta ton batubara per tahun yang kemudian dikonversi untuk menghasilkan 1,4 juta ton DME per tahun, atau dengan perbandingan 1:5.
Hadirnya DME sebagai bahan bakar alternatif (pengganti LPG), diklaim bisa membantu menekan impor LPG dan menghemat devisa negara, yang juga dalam keterangan resmi PTBA pada 2020 lalu, apabila didasarkan pada hitungan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, maka potensi penghematan negara bisa mencapai Rp 8,7 triliun. (*/bersambung)
- Warga Muara Enim Unjuk Rasa di Kejari, Tuntut Usut Tuntas Proyek Bermasalah
- Seleksi PPPK Pemkab Muara Enim: Pertama di Sumsel dengan Sistem CAT Mandiri
- Bobi Candra, Bos Tambang Ilegal Ditahan Kejari Muara Enim