Kualitas Udara di Palembang Masuk Level Berbahaya, Hindari Aktivitas di Luar Rumah

Kabut asap di Palembang akibat Karhutla/ist
Kabut asap di Palembang akibat Karhutla/ist

Kualitas udara di Palembang, Sumatera Selatan, mengalami penurunan drastis selama dua hari berturut-turut akibat kabut asap yang disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan. 


Menurut data yang dirilis oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada Rabu, 27 September 2023, konsentrasi partikulat PM 2.5 melebihi 400 µgram/m³ pada pukul 04.00 WIB, menjadikannya pada level berbahaya. Kondisi ini berlanjut hingga pukul 07.00 WIB, dengan angka partikulat tetap tinggi, yaitu 320 µgram/m³.

Menurut Kepala Stasiun Klimatologi Kelas I Sumatera Selatan, Wandayantolis, peningkatan tingkat PM 2.5 pada malam hingga pukul 09.00 WIB disebabkan oleh adanya titik api yang merembet di lahan yang terbakar. 

Kondisi ini menghambat upaya pemadam kebakaran baik darat maupun udara, membuat proses pemadaman menjadi sulit. Asap dari sisa-sisa kebakaran ini kemudian terbawa angin dan mencapai Palembang pada dini hari.

“Sisa-sisa yang masih terbakar inilah yang mengeluarkan asap, puncaknya di malam hari asapnya ini menjalar terbawa angin sampai di Palembang," kata Wandayantolis saat dikonfirmasi lewat sambungan telepon, Kamis (27/9).

Meskipun kondisi udara sangat berbahaya pada awal hari, diperkirakan bahwa situasi akan membaik di atas pukul 09.00 WIB hingga sore hari. Pada jam tersebut, asap yang menyelimuti Palembang akan terpecah terbawa angin.

“Dari modeling ini, sebaiknya menghindari aktivitas pada dini hari sampai pukul 09.00WIB, jadi meskipun beraktivitas sebaiknya dilakukan setelah 09.00WIB sampai sore, itu konsentrasi di (level) sedang,”ujarnya.

Pihak BMKG menghimbau kepada masyarakat untuk menghindari aktivitas di luar ruangan pada dini hari hingga pukul 09.00 WIB.  Situasi ini kemungkinan terkait dengan pola cuaca yang dipengaruhi oleh fenomena El Niño. 

BMKG memperkirakan bahwa El Niño akan melemah pada awal tahun 2024 setelah memasuki musim hujan.  Namun, puncak musim kemarau di Sumatera Selatan telah terjadi pada Agustus 2023, dan dampaknya masih dirasakan hingga bulan September. Kekeringan yang meluas akibat musim kemarau meningkatkan potensi kebakaran hutan dan lahan.

“Kalau dari grafik yang kami kirim, angka PM 2.5 hari ini yang tertinggi, karena sudah tidak terjadi hujan lagi. Hujan hasil TMC terputus, sehingga lahan kembali mengering dan menyebabkan tempat terbakar meningkat," pungkasnya.