Harga Batubara Diperkirakan Masih Tinggi Karena Larangan Impor dari Rusia, Siap-siap Pecah Rekor

Ilustrasi Batubara/net
Ilustrasi Batubara/net

Harga batubara kembali meroket pada perdagangan, Selasa (16/8) dan mulai mendekati rekor tertinggi sepanjang masa. 


Salah satu komoditas energi ini memang memiliki harga yang fluktuatif. Namun tren harga batubara selalu mengalami kenaikan, bahkan harganya diperkirakan masih akan tinggi dalam beberapa tahun ke depan.

Harga batu bara di Ice Newcastle Australia untuk kontrak 2 bulan ke depan kemarin melesat 3,6% ke US$ 425,35/ton. Rekor tertinggi harga batu bara kontrak 2 tahun tercatat sebesar US$ 487,5/ton yang dicapai pada 7 Maret lalu. Artinya, batu bara kini berjarak kurang dari 15% dari rekor tertinggi tersebut.

Hingga Selasa kemarin, harga batu bara sudah naik dalam 3 hari perdagangan beruntun. Salah satu pemicu kenaikan tersebut yakni Eropa yang melarang impor batubara dari Rusia yang dimulai bulan ini.

Langkah tersebut bisa memicu peningkatan permintaan batubara dari negara-negara lainnya, termasuk Indonesia hingga Australia yang merupakan produsen batubara besar.

Larangan impor tersebut juga diperkirakan akan membuat harga batu bara tetap tinggi dalam waktu yang cukup lama. Fitch Solutions, memprediksi hingga tahun 2026.

"Kami memperkirakan permintaan akan jauh lebih kuat dibandingkan perkiraan kami di awal. Inilah alasan kami mengubah proyeksi. Serangan Rusia ke Ukraina membuat Eropa mengurangi gas dari Rusia dan ini berdampak besar ke batu bara," tutur Fitch dalam laporannya, seperti dikutip dari Australian Research & Investment.

Fitch memperkirakan harga batu bara thermal akan berada di US$ 320 per ton pada tahun ini, lebih tinggi dibandingkan proyeksi awal di US5 230 per ton. 

Sementara untuk harga rata-rata 2022 hingga 2026, Fitch Solutions memperkirakan berada di kisaran US$ 246/ton dari signifikan dari proyeksi sebelumnya US$ 159/ton.

Masalah energi di Eropa memang terus menjaga harga batu bara tetap tinggi. Beberapa negara, termasuk Jerman mengaktifkan kembali pembangkit linstrik tenaga uap yang berbahan bakar batu bara guna mengatasi kelangkaan gas dari Rusia.

Perusahaan energi raksasa Jerman, RWE, telah menyampaikan rencananya untuk menggunakan batu bara dalam jumlah lebih besar untuk jangka pendek.

"RWE secara aktif mendukung pemerintah Jerman dan Eropa dalam mengelola krisis energi. Apa yang terjadi saat ini semoga hanya bersifat sementara demi mengamankan pasokan," kata Direktur Keuangan RWE Michael Muller.