Firli Blak-Blakan Soal Pemimpin Korup di Sumsel, jadi Alasan Usulkan Presidential Threshold Nol Persen

Ketua KPK, Firli Bahuri (Istimewa/rmolsumsel.id)
Ketua KPK, Firli Bahuri (Istimewa/rmolsumsel.id)

Ketua KPK Firli Bahuri mengungkapkan perasaannya soal proses kepemimpinan korup di Sumsel. Dia merasa miris dengan apa yang terjadi saat ini. 


Setelah Bupati Kuryana Azis meninggal dunia, Wakil Bupati Johan Anuar tak bisa menggantikan karena divonis akibat kasus korupsi. Sehingga membuat Kabupaten OKU yang merupakan tanah kelahirannya itu tidak bisa dipimpin oleh Bupati definitif. 

“Justru sekarang ribut karena tidak ada kesepakatan sembilan parpol untuk mengajukan calon Bupati sehingga sampai sekarang tidak ada Bupati definitif. Kenapa ini terjadi, karena politik transaksional,” ungkap Firli.

Begitu juga di Kabupaten Muara Enim. Bupati Ahmad Yani lebih dulu dicopot dari jabatannya setelah divonis lima tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Palembang atas kasus suap proyek pembangunan jalan yang merugikan negara Rp130 miliar.

Sedangkan Juarsah, Wakil Bupati Muara Enim yang kemudian dilantik menggantikan Yani malah ikut ditahan KPK terkait kasus suap fee proyek yang sama di masa dirinya menjabat sebagai Wakil Bupati. “Bahkan saat ini anggota DPRD Kabupaten Muara Enim 10 orang berperkara korupsi ditangani KPK,” imbuh Firli miris.

Sejumlah kasus di Sumsel dan beberapa daerah lain yang cenderung dekat dengan politik transaksional inilah yang menjadi alasan Firli mengusulkan adanya Presidential Threshold 0 (nol) persen. Bukan 20 persen seperti yang terjadi di Pemilu belakang. 

Apalagi, Firli juga mengaku kerap menerima keluhan sejumlah kepala daerah maupun anggota legislatif yang mengungkapkan besar dan mahalnya biaya politik. 

"Semua para kepala daerah mengeluhkan besarnya biaya Pilkada, anggota legislatif juga mengatakan mahal. Sehingga banyak yang melakukan korupsi," kata Firli seperti diberitakan Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (12/12). 

Apa yang menjadi pikiran Firli ini bahkan kerap disampaikannya dalam forum terbuka di berbagai daerah dalam kegiatan rapat koordinasi (rakor) bersama Forkopimda dan APH maupun kegiatan sosialisasi pendidikan antikorupsi yang memang digalakan oleh KPK lewat program Trisula pemberantasan korupsi.

Dengan harapan, Indonesia mampu mewujudkan seluruh tujuan nasionalnya. Oleh karena itu, Firli menegaskan, tidak ada hal lain selain membersihkan negara dari praktik-praktik korupsi.

Sebelumnya, saat berbincang mengenai pelaksanaan Hari Korupsi Dunia (Hakordia) 2021 dengan Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Teguh Santosa, Kamis malam (9/12), Firli Bahuri menyampaikan pandangan mengenai cara mendapat pemimpin berkualitas.

Katanya, pemimpin berkualitas bisa didapat jika tidak ada lagi pilkada, pileg, dan pilpres yang membutuhkan ongkos politik yang mahal. Sebab hanya dengan begitu pemimpin yang terpilih tidak tersandera kepentingan pihak lain.

“Selama ini (syarat untuk menjadi pejabat publik) harus ada popularitas, elektabilitas, kapasitas, lalu isi tas. Sekarang dibalik. Isi tas duluan, baru yang lain-lain,” ujarnya.

“Kita ingin pilkada, pileg, pilpres, nol threshold-nya. Tidak boleh ada. Bukan hanya threshold yang nol persen, biaya politik juga harus nol rupiah,” sambung Firli.

Rizal Ramli. (ist/rmol)

Usulan Firli Dapat Dukungan Rizal Ramli

Ekonom senior, Rizal Ramli sepakat dengan Firli soal penghapusan presidential threshold. “Ketua KPK benar sekali,” ujarnya lewat akun Twitter pribadi, Senin (13/12).

Menko Perekonomian era Gus Dur ini mengurai bahwa akibat dari keberadaan ambang batas, ongkos politik jadi mahal. Menurut kalkulasinya, untuk menyewa partai menjadi kendaraan, seorang calon bupati harus menyiapkan uang Rp 30 miliar hingga Rp 60 miliar. 

Sementara seorang Gubernur harus menyiapkan Rp 100 miliar hingga Rp 300 miliar. “Dan lebih dari Rp 1 triliun untuk capres,” tutupnya.

Hal senada juga disampaikan oleh pengamat politik yang juga Direktur Mahara Leadership, Iwel Sastra. Menurut Iwel, ada 3 manfaat utama jika presidential threshold 0 persen. Pertama, dapat menghidupkan demokrasi.

Sebab, dengan menerapkan presidential threshold 0 persen, akan memberikan kesempatan lebih luas pada setiap anak bangsa untuk maju sebagai calon presiden.

"Kedua, mencegah terjadinya perpecahan di tengah masyarakat. Pada pilpres 2014 dan 2019 hanya terdapat 2 pasangan calon yang kemudian menjadi cikal bakal terbelahnya rakyat," demikian penjelasan Iwel seperti dikutip Kantor Berita Politik RMOL, Senin (13/12).

Salah satu contoh nyata, kata Iwel, keterbelahan masyarakat di Pilpres 2019 hingga memunculkan diksi cebong dan kampret sebagai kelompok pendukung presiden. Ketiga,uajr dia, sama dengan pendapat Firli yakni penerapan presidential threshold 0 persen akan mencegah terjadinya politik biaya tinggi.