Energi Biofuel Berpotensi Perparah Kerusakan Lingkungan

ilustrasi (istimewa/rmolsumsel.id)
ilustrasi (istimewa/rmolsumsel.id)

Pengembangan energi terbarukan terus dilakukan pemerintah. Salah satu yang tengah dikembangkan yakni bahan bakar biofuel yang berasal dari pengolahan minyak kelapa sawit.


Saat ini, produksi bahan bakar biofuel masih menggunakan campuran dari 30 persen fatty acid methyl ester (FAME) yang berasal dari kelapa sawit dan 70 persen solar atau yang kerap disebut B30.

Pemerintah juga telah mengeluarkan Perpres nomor 109 tahun 2021. Dimana dalam aturan tersebut bahan bakar sawit kedepannya diproyeksikan menjadi pengganti bahan bakar fosil. Hanya saja, penggunaan bahan bakar ini kedepannya berpotensi merusak lingkungan lebih parah lagi. Bahan bakar sawit akan memperluas penggunaan lahan untuk ditanami kelapa sawit sebagai bahan baku B30.

"Biofuel bisa saja bersih sebagai bahan bakar. Tetapi, untuk mendapatkan bahan baku sawit perlu lahan yang luas dan berpotensi menyebabkan deforestasi secara besar-besaran. Jadi sama saja dengan bahan bakar fosil yang merusak lingkungan," kata Direktur Spora Institute sekaligus akademisi dari Universitas Sriwijaya (Unsri), JJ Polong dalam diskusi 'Ekologi Politik bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI)' di Palembang, beberapa waktu lalu.

Polong mengatakan, pengembangan bahan bakar sawit tetap tidak berpihak terhadap sisi ekologis dan sosiologis masyarakat. Pemerintah hanya mengedepankan konteks ekonomi terhadap pengembangan bahan bakar terbarukan tersebut.

"Orang-orang yang diuntungkan dalam penggunaan bahan bakar sawit ini hanya segelintir saja. Ada kepentingan oligarki disana. Sehingga mendorong intelektual untuk terus mengembangkan penggunaan bahan baku sawit," bebernya.

Menurutnya, kebutuhan akan energi kian hari kian tinggi. Di sisi lain, pemenuhan kebutuhan energi ini hanya dikuasai oleh perusahaan besar saja. Keterlibatan masyarakat di sisi hulu terutama hilir sangat kurang. Dia mencontohkan sektor pertambangan di Sumsel.

"Masyarakat di wilayah tambang tidak pernah dilibatkan, sehingga kemiskinan di wilayah tambang sangat nyata. Mereka tidak memiliki hak atas kekayaan daerah yang justru hanya dinikmati segelintir aktor dari tingkat kabupaten, nasional hingga internasional," tuturnya.

Sumsel sendiri merupakan salah satu daerah produsen sawit terbesar di Indonesia. Data statistik perkebunan 2020 menunjukkan, luas perkebunan kelapa sawit di Bumi Sriwijaya mencapai 1.221.374 hektare.

Perkebunan tersebut menghasilkan 3.323.670 ton Crude Palm Oil (CPO). Produksi minyak sawit saat ini dikhawatirkan tidak sanggup memenuhi kebutuhan bahan baku B30. Pasalnya, produksi saat ini saja belum mampu memenuhi kebutuhan hilirisasi produk kelapa sawit. Mulai dari untuk kebutuhan rumah tangga, bahan baku make up hingga bahan bakar B30.

Hal itu dapat dilihat dari situasi harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit di Sumsel periode II November 2021. Harga saat ini mencapai Rp2.835-Rp3.209 per kilogram. Harga tersebut mengalami kenaikan 70-80 persen dari biasanya.

"Kenaikan memang cukup signifikan. Karena saat ini hilirisasi produk cukup bervariasi. Sehingga, kebutuhan minyak sawit juga meningkat," kata Kepala Bidang Pemasaran dan Pengolahan Hasil Perkebunan (P2HP) Dinas Perkebunan Sumsel, Rudi Arpian saat dibincangi, Minggu (28/11).

Hilirisasi produk sawit terus dilakukan mengingat produksi sawit di Indonesia menjadi salah satu yang tertinggi di dunia. "Adanya program B30 membuat penggunaan sawit sebagai bahan bakar minyak tentunga bisa meningkatkan penggunaan dalam negeri," tandasnya.