Deforestasi dan Perjuangan Menyelamatkan Habitat Burung Surga

Tangkapan layar webinar Econusa yang menampilkan hasil foto Tim Laman, seekor  Red Bird of Paradise (Paradisaea Rubra). (rmolsumsel)
Tangkapan layar webinar Econusa yang menampilkan hasil foto Tim Laman, seekor Red Bird of Paradise (Paradisaea Rubra). (rmolsumsel)

Sebanyak 38 persen hutan hujan di Indonesia terdapat di Papua dan Papua Barat. Hutan Papua ini menyimpan keanekaragaman hayati serta kekayaan biodiversitas yang tak ternilai. Diantaranya sebagai habitat Burung Cenderawasih yang juga dikenal sebagai 'Burung Surga' atau 'bird of paradise'. 


Dari 40 jenis spesies burung surga yang ditemukan, 28 diantaranya terdapat di Indonesia, dan tujuh diantaranya hanya terdapat di Papua. Namun, keberadaan burung ini terancam seiring meningkatnya deforestasi di Papua dalam beberapa tahun kebelakang. 

Padahal hutan yang menjadi rumah dari burung surga ini merupakan penyeimbang iklim global. Mengutip webinar yang digelar oleh Econusa bertajuk MACE Papua & Maluku: Defending Paradise pada 28 September 2021 lalu, kepunahan burung ini niscaya terjadi bukan hanya karena perburuan liar, tetapi berkurangnya habitat, yakni menyusutnya hutan. 

Bahkan tercatat, penyusutan hutan hujan tropis di Papua 20 tahun terakhir mencapai 663.443 Ha yang tentunya juga bisa berdampak pada Cultur Genocide dalam konteks masyarakat adat papua. "Sejatinya kualitas hidup masyarakat Papua ditentukan dengan adanya hutan," ungkap Ahli Ekologi Hendra K Maury. 

Hutan, tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat Papua. Hamparan hutan ini telah dianggap sebagai mama (ibu) yang menghidupi dan mesti terus dijaga. Seperti yang diungkapkan Pemandu Ekowisata Burung Surga, Obaja Kalami dalam bahasa Moi Kelim yang tinggal di Malagufuk, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat.

"Dulu saya belum mengerti arti hutan, kerja ke kota mencari uang, berjuang susah payah. Sekarang sadar hutan adalah ibu yang memberi nafas bagi banyak orang. Dengan menjaga kelestarian, warna-warni yang diberikan hutan, sekarang kampung saya dikenal dan didatangi banyak orang, sehingga kami berjuang mempertahankan hutan. Jika kita menjaga alam dengan baik, maka alam pun akan memberikan kebaikan untuk kita," ujarnya. 

Pentingnya hutan bagi habitat burung Cenderawasih ditegaskan kembali oleh Ornitologis dari The Cornell Lab of Ornithology, Edwin Scholes yang telah melakukan penelitian sejak 2004 silam. Bersama dengan Fotografer sekaligus videografer alam bebas yang pernah bertugas di National Geographic, Tim Laman, keduanya mengamati setiap fase hidup burung surga ini. 

Mulai dari membangun sarang, mengasuh anak, mencari makan, memikat lawan jenis dengan mempertunjukkan tarian yang unik seperti yang ditunjukkan salah satu spesies yang baru ditemukan yakni Vogelkop Superb Bird-of-Paradise atau Cenderawasih Vogelkop (Lophorina niedda). 

"Oleh sebab itu, Econusa dan The Cornell Lab of Ornithology membuat kampanye 'Defending Paradise' yang telah kami mulai sejak Maret 2021 lalu secara digital. Kampanye ini menggagas penyelamatan habitat burung surga, yang tentunya butuh dukungan banyak pihak dan tindakan yang lebih nyata dan luas kedepan," jelas Ed-sapaan akrabnya. 

Hasil penelitian keduanya bahkan telah dituangkan dalam edisi khusus majalah National Geographic serta film dokumenter yang telah ditonton jutaan orang. Ed juga telah memetakan secara garis besar spesies burung ini. Sayangnya, Ed meyakini masih banyak spesies yang belum ditemukan. 

Sehingga apabila laju deforestasi hutan di Papua, Papua Barat sampai Maluku yang menjadi rumah bagi burung surga ini lebih dulu dibabat, maka spesies yang belum ditemukan itu tidak akan pernah ditemukan untuk selamanya. 

Selain kampanye, penguatan yang dilakukan utamanya harus berasal dari regulator atau pemerintah. Provinsi Papua Barat yang mendeklarasikan diri sebagai Provinsi Konservasi pertama di Indonesia pada 2015 silam mengklaim punya komitmen yang kuat untuk mempertahankan keanekaragaman hayati. 

Hal ini diungkapkan oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbang) Provinsi Papua Barat, Prof Dr Charlie D Heatubun SHut Msi dalam kesempatan webinar yang sama. Terlebih setelah dicetuskannya Deklarasi Manokwari pada 2018 silam. 

Deklarasi ini merupakan kesepakatan yang menjadi landasan bagi pembangunan berkelanjutan di Papua dan Papua Barat. Didalamnya terdapat 14 poin kesepakatan yang diikuti dengan dikeluarkannya Perdasus No. 10 Tahun 2019 tentang Pembangunan Berkelanjutan di Papua Barat.

"Peraturan ini mengkaji ulang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) dan mengatur ulang proporsi kawasan lindung dan budidaya hutan di provinsi Papua Barat dengan target 70 persen wilayah hutan dan 50 persen wilayah perairan Papua Barat akan menjadi kawasan yang dilindungi (konservasi)," jelasnya.