Bongkar Kasus Korupsi LPEI, KPK Didesak Ungkap Transaksi Fiktif PT Petro Energy

Ilustrasi/ist
Ilustrasi/ist

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan lima orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) kepada PT Petro Energy (PE).


Penetapan tersangka ini diumumkan dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih pada Senin (3/3/2025). Kelima tersangka tersebut adalah Dwi Wahyudi selaku Direktur Pelaksana I LPEI, Arif Setiawan selaku Direktur Pelaksana IV LPEI, Jimmy Masrin selaku Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal/Komisaris Utama PT PE, Newin Nugroho selaku Direktur Utama PT PE, dan Susy Mira Dewi Sugiarta selaku Direktur PT PE.

Plt Direktur Penyidikan KPK, Budi Sukmo Wibowo, mengungkapkan bahwa kredit tetap diberikan oleh para direktur LPEI meskipun PT PE tidak memenuhi syarat kelayakan. Selain itu, PT PE diduga melakukan pemalsuan dokumen purchase order, manipulasi laporan keuangan (window dressing), serta penggunaan fasilitas kredit yang tidak sesuai dengan perjanjian kredit dengan LPEI.

“Atas pemberian fasilitas kredit oleh LPEI kepada PT PE ini, diduga telah mengakibatkan kerugian negara sebesar USD 60 juta atau sekitar Rp 999 miliar,” ujar Budi.

Berdasarkan data yang dihimpun, PT PE diduga mengalihkan sahamnya di perusahaan tambang batu bara PT Pada Idi ke sebuah perusahaan investasi terafiliasi sebelum PT PE dinyatakan pailit pada Juni 2020. Hal ini terungkap dalam Surat Pemberitahuan Pengalihan Tagihan dari PT Caturkarsa Megatunggal (CM), pemegang saham mayoritas PT PE, kepada PT Pada Idi pada 3 April 2020.

Dalam surat tersebut, PT Pada Idi diminta membayar Rp 43,455 miliar kepada PT CM sesuai dengan surat pengakuan utang tertanggal 1 April 2020. Pembayaran ini dikaitkan dengan perjanjian jual beli piutang PT CM dengan PT Tunas Laju Investama (TLI) pada 2 April 2020, yang mana PT CM telah menjual seluruh hak dan kepentingannya kepada TLI.

TLI, yang diduga sebagai special purpose vehicle (SPV) untuk akuisisi ini, masuk sebagai pemegang saham PT Pada Idi pada 30 April 2020 dengan kepemilikan 33,33%. Pengalihan saham ini diduga dilakukan untuk menghindari kewajiban keuangan PT PE sebelum dinyatakan pailit.

Indikasi Transaksi Fiktif

Selain dugaan pengalihan aset, KPK juga menemukan indikasi transaksi mencurigakan yang melibatkan PT Pada Idi, PT CM, dan TLI. Pada 14 Mei 2020, dilakukan serangkaian transfer bolak-balik senilai Rp 43,455 miliar antara rekening-rekening ketiga perusahaan tersebut dalam satu hari, menciptakan kesan bahwa transaksi pembayaran telah dilakukan secara sah.

Pada saat transaksi ini berlangsung, Direktur Keuangan PT Pada Idi dijabat oleh Susy Mira Dewi Sugiarta, yang juga merupakan Direktur PT PE dan berasal dari Grup Lautan Luas.

Setelah PT PE dinyatakan pailit, seluruh sahamnya diambil alih oleh TLI. Berdasarkan Akta No. 75 Notaris Ria Novita tertanggal 29 Oktober 2021, TLI menguasai 70% saham PT PE, sedangkan sisanya dimiliki oleh Bintoro Iduansjah dan The Budi Tejo Prawiro. TLI kemudian memperbesar kepemilikannya hingga 81,56% berdasarkan Akta No. 09 tertanggal 11 Mei 2022.

Perubahan kepemilikan saham PT Pada Idi baru dilaporkan ke sistem Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian ESDM pada 2024, meskipun transaksi tersebut terjadi sejak 2020. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa PT Pada Idi telah melakukan aktivitas pertambangan tanpa persetujuan perubahan kepemilikan dari Menteri ESDM.

PT CM, yang dikenal sebagai perusahaan pengendali PT Lautan Luas Tbk (LTLS) dan PT Unggul Indah Cahaya Tbk (UNIC), juga memiliki keterkaitan erat dengan tersangka utama, Jimmy Masrin. Selain mengendalikan PT CM dan TLI, Jimmy Masrin juga mendirikan PT Tunas Niaga Energi (TNE), perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan dan pengangkutan batu bara.