Biayai Proyek PLTU Sumsel 8, Bank Mandiri Tuai Protes dari Kalangan Aktivis

Ilustrasi PLTU. (ist/rmolsumsel.id)
Ilustrasi PLTU. (ist/rmolsumsel.id)

Keputusan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) untuk memberikan fasilitas pinjaman sebesar US$ 1,27 miliar (sekitar Rp 19,24 triliun) kepada PT Huadian Bukit Asam Power (HBAP) guna mendukung proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mulut Tambang Sumsel-8 memicu kontroversi. Langkah ini dinilai bertentangan dengan komitmen global untuk beralih ke energi bersih dan target nol emisi Indonesia.


Kritik pedas datang dari berbagai pihak, termasuk lembaga swadaya masyarakat dan para ahli. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menyatakan keputusan Bank Mandiri tersebut berisiko meningkatkan biaya produksi listrik dan menghambat transisi energi Indonesia menuju sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.

"Studi kami menunjukkan bahwa setelah 2030, biaya produksi listrik dari PLTU akan lebih mahal dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan penyimpanan energi baterai. Dengan demikian, mempertahankan PLTU justru akan merugikan keuangan negara dan memperlambat upaya mencapai target nol emisi," ujar Fabby.

Selain itu, keputusan Bank Mandiri juga dinilai meningkatkan risiko transisi (transition risk) bagi bank itu sendiri. Menurut Fabby, risiko yang sebelumnya ditanggung oleh pemberi pinjaman dari China kini berpindah ke Bank Mandiri. 

Senada dengan Fabby, Tiza Mafira dari Climate Policy Initiative menyoroti ketidakseimbangan investasi energi di Indonesia. "Investasi untuk energi fosil di Indonesia masih jauh lebih besar dibandingkan dengan energi terbarukan. Kondisi ini berpotensi membuat Indonesia kehilangan kepercayaan investor global yang semakin beralih ke proyek-proyek hijau," kata Tiza. 

Laporan-laporan dari berbagai lembaga seperti Urgewald, Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Trend Asia menunjukkan bahwa Bank Mandiri memang memiliki rekam jejak panjang dalam membiayaan proyek-proyek batu bara. Jumlah pembiayaan yang sangat besar tersebut semakin menguatkan dugaan bahwa bank pelat merah ini belum sepenuhnya berkomitmen untuk mendukung transisi energi.

Meskipun PLTU Sumsel-8 menggunakan teknologi supercritical yang dianggap lebih efisien, para ahli lingkungan tetap menyoroti dampak negatif dari pembangkit listrik tenaga uap terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat. Studi dari Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) menunjukkan bahwa PLTU Cirebon-1, yang menggunakan teknologi serupa, telah menyebabkan ratusan kematian akibat penyakit pernapasan setiap tahunnya.

Indonesia sebenarnya memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar, seperti tenaga surya, angin, dan panas bumi. Dengan mengembangkan sumber-sumber energi bersih ini, Indonesia tidak hanya dapat mengurangi emisi gas rumah kaca tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan ketahanan energi.

Agung Budiono, Direktur Eksekutif Indonesia Cerah, mendesak Bank Mandiri untuk mengubah arah dan menjadi pionir dalam pembiayaan proyek energi bersih. "Bank Mandiri memiliki peluang besar untuk menjadi pemimpin dalam transisi energi di Indonesia. Namun, dengan terus mendukung proyek-proyek batu bara, bank ini justru menghambat upaya mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan," kata Agung.