Air Limbah Cemari Sungai Enim, Bara Anugerah Sejahtera Diminta Bertanggung Jawab

Salah seorang warga Desa Pulau Panggung Kecamatan Tanjung Agung, Muara Enim yang sedang mencuci piring di Sungai Enim. (noviansyah/rmolsumsel.id)
Salah seorang warga Desa Pulau Panggung Kecamatan Tanjung Agung, Muara Enim yang sedang mencuci piring di Sungai Enim. (noviansyah/rmolsumsel.id)

Aktivitas pertambangan yang mengakibatkan rusak dan tercemarnya lingkungan di Sumsel kembali terungkap. Kali ini dilakukan oleh PT Bara Anugerah Sejahtera (BAS) yang berlokasi di Desa Pulau Panggung, Kecamatan Tanjung Agung, Muara Enim.


Setelah melalui sejumlah rapat guna mengumpulkan informasi yang kemudian dilanjutkan dengan tinjauan ke lapangan, Kepala Dinas LH Muara Enim Kurmin akhirnya memastikan terjadinya pencemaran tersebut, sehingga meminta perusahaan itu bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh warga. 

“Kami sudah keluarkan surat teguran yang ditembuskan ke Kementerian Lingkungan Hidup,” ujar Kurmin kepada awak media, usai rapat terkait pencemaran PT BAS ini, Selasa (28/6). Dijelaskannya, dalam tinjauan yang dilakukan pada 7 Juni 2022 lalu itu, tim Dinas LH Muara Enim mendapati fakta bahwa PT BAS tidak melaksanakan kewajiban pengelolaan air limbah, sebagaimana yang tertuang dalam dokumen lingkungan (Amdal).

Air limbah PT BAS yang mengalir ke Sungai Enim itu berada diatas standar ambang baku mutu yang telah ditetapkan, yakni dengan Total Suspended Solid (TSS) sebesar 1.194.00 mg/L pada salah satu Kolam Pengelolaan Limbah (KPL) jauh diatas ambang baku mutu lingkungan 300 mg/L.

Air limbah yang bermuara ke Sungai Enim ini, nyatanya juga mengalir ke sejumlah lahan perkebunan milik warga dan memberi dampak kerusakan yang signifikan. Oleh sebab itulah, Dinas LH Muara Enim kembali memanggil perusahaan dan perwakilan warga untuk membicarakan ganti rugi dan dampak dari air limbah tersebut. 

"Prinsipnya kami selalu melakukan pemantauan rutin ke semua perusahaan yang ada di wilayah Muara Enim, untuk mengantisipasi hal tersebut. Hanya saja untuk sanksi, bukan wewenang kami. Yang jelas kami sudah keluarkan teguran,” jelas Kurmin.

Lahan milik Syahril yang diduga tercemar limbah dari PT Bara Anugerah Sejahtera (BAS). (ist/rmolsumsel.id)

Dalam rapat tersebut, Syahril, warga Desa Pulau Panggung, Kecamatan Tanjung Agung, mengungkapkan kalau lahan perkebunan miliknya tercemar aliran limbah yang berasal dari aktivitas penambangan yang PT Bara Anugerah Sejahtera (BAS). Aliran limbah berupa lumpur ini telah mengalir sejak 2011 lalu. Namun, hingga kini belum ada penyelesaian dari pihak perusahaan. Baik itu upaya perbaikan maupun ganti rugi.

Syahril menceritakan, dirinya memiliki lahan seluas 18.095,40 meter persegi. Diatas lahan tersebut, banyak terdapat berbagai jenis tanaman. Mulai dari pohon Pedaro, Duku, Nangka, durian dan berbagai jenis tanaman lainnya. Dari total luas lahan itu, hanya sekitar 9.000 meter persegi yang terdampak aliran limbah. 

Nah, diatas lahan yang terdampak ini, jumlah tanamannya terdiri dari pohon Pedaro 200 batang, Dammar 50 batang, Manggis 50 Batang, Duku 10 Batang, Nangka 15 batang, Durian 8 batang, Mangga 5 batang, Kapahyang 5 Batang, Rambutan 14 batang. “Jumlah tanaman yang saya hitung ini adalah yang sudah mati akibat terkena dampak aliran limbah,” kata Syahril saat memberi keterangan dalam rapat tersebut. 

Dia mengatakan, upaya negosiasi sebenarnya sudah sering dilakukan. Terhitung, ada sekitar tujuh kali pertemuan dan tak pernah membuagkan hasil. “Kami minta ganti rugi tanam tumbuh kami yang telah rusak selama 9 tahun ini,” ucapnya. 

Selain tanam tumbuh, Syahril juga meminta perusahaan melakukan pembebasan lahan. Sebab, dirinya tidak bisa mengupayakan kembali tanah yang telah tercemar tersebut. “Mau dimanfaatkan kembali juga tidak bisa. Tanaman yang sudah ada saja sudah mati semua. Jadi saya minta tanah itu dibebaskan saja,” ungkapnya.

Begitu pula yang disampaikan oleh perwakilan warga lainnya, Afriansyah. Dia mengatakan, pencemaran yang dilakukan PT BAS tidak hanya berdampak ke lahan milik Syahril saja. Tapi juga mengalir hingga ke Sungai Enim yang masih banyak dimanfaatkan warga untuk kebutuhan sehari-hari. “Jadi dalam perkara ini ada dua hal yang menjadi pembahasan yaitu ganti rugi lahan dan dampak limbah PT BAS terhadap lingkungan sekitar,” ujarnya.

Sebelum ini, kondisi Sungai Enim yang telah tercemar berat akibat aktivitas pertambangan juga pernah diberitakan oleh Kantor Berita RMOLSumsel. Hal ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Assoc Prof Dato' Achmad Syarifuddin. Dalam sebuah kesempatan diskusi yang digagas RMOLSumsel Research and Development, dia menyampaikan kalau pencemaran ini telah mempengaruhi kehidupan masyarakat untuk saat ini dan kedepan. 

"Penurunan kualitas air Sungai Enim cenderung meningkat secara signifikan akibat adanya kegiatan industri pertambangan batubara sehingga berpengaruh terhadap kualitas hidup masyarakat," tegasnya. 

Bahkan, dampak pencemaran ini meluas seiring dengan meluapnya Sungai Enim pada Minggu (26/6) lalu. Air yang meluap, bercampur dengan limbah yang mengalir dari aktivitas sejumlah perusahaan tambang pada Minggu (26/6) itu menggenai sejumlah wilayah pemukiman di Muara Enim. 

Terkait hal ini, Humas PT BAS Akwam mengaku tidak bisa memberikan penjelasan secara terperinci. “Ada bagian HSSE. Jadi untuk limbah bukan saya yang beri keterangan. Saya hadir di sini (rapat bersama Dinas LH dan warga Muara Enim) karena masalah adalah ganti rugi,” jelasnya.