Sebaiknya Presiden Jangan Terlalu Sombong

Presiden Joko Widodo diminta berpikir ulang dan mencermati sajian data maupun informasi yang ia dapat sebelum dipublikasi ke khalayak, khususnya di bidang ekonomi.


Sebab dewasa ini, beberapa kali prediksi ekonomi Indonesia yang kerap disampaikan RI satu berujung keliru.

"Jokowi sebaiknya mawas diri sebagai presiden, jangan terlalu sombong dan terburu-buru meyakini sebuah informasi dan data prediksi ekonomi, sebab terlalu banyak janji dan prediksi Jokowi yang ternyata salah," ujar Direktur Eksekutif Center for Social Political Economic and Law Studies (CESPELS), Ubedilah Badrun kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (28/7).

Ubedilah membeberkan beberapa prediksi presiden yang hingga kini tak menunjukkan kebenaran, di antaranya pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 7 persen. Bahkan, target tersebut tertuang dalam RPJMN 2015-2019 saat periode pertama Jokowi menjadi kepala negara.

Narasi dalam RPJMN 2015-2019 berbunyi, dengan berbagai kebijakan, pertumbuhan ekonomi akan meningkat tajam mulai tahun 2016, menjadi 7,1 persen pada tahun 2017, dan terus meningkat pada tahun 2018 dan 2019 masing-masing sebesar 7,5 persen dan 8 persen.

"Tentu kita semua masih mencatat Jokowi juga pada tanggal 5 Agustus 2015 di Istana Bogor pernah mengatakan 'Kini ekonomi mulai agak meroket September, Oktober. Nah, pas November itu bisa begini (tangan menunjuk ke atas)'. Itu narasi Jokowi sangat populer waktu itu," ungkap Ubedilah.

Namun kenyataannya narasi bombastis tersebut justru meleset jauh dengan kenyataan yang terjadi. "Jangankan ekonomi tumbuh 7 persen, untuk keluar dari rata-rata 5 persen saja masih sulit sampai sekarang," kritiknya.

Data lain kekacauan prediksi Jokowi ialah soal Covid-19. Pada April 2020 kemarin, Jokowi pernah mengatakan bahwa Covid-19 di bulan Juli sudah masuk pada posisi ringan, dan puncaknya pada Mei turun landai.

Namun kenyataannya, sampai akhir Juli justru semakin memuncak, kini pasien positif corona di Tanah Air tembus 100.000 lebih.

"Saya kira di antara data di atas mestinya sudah cukup untuk membuat Jokowi tafakur, hindari sikap sombong dan berlebihan menerima data. Saya khawatir Jokowi terkena situasi psikologis yang berbahaya, yaitu tidak bisa membedakan antara keyakinan pada data yang masih harus divalidasi dengan halusinasi akut tentang kehebatan semu dirinya," pungkas Ubedilah.