Disinyalir China Manipulasi Jumlah Kematian karena Covid-19

Keraguan dunia selama ini hampir terjawab. Terkait jumlah kematian warga akibat wabah virus corona 2019 (covid-19), yang diklaim Pemerintah China hanya 3.000an jiwa. Karena fakta di lapangan mengindikasikan angka yang jauh lebih besar, sebagaimana di negara-negara lainnya.


JPNN.Com, Minggu (12/4/2020), melansir hasil investigasi Daily Mail yang ditayangkan khusus untuk hari Minggu atau Mail on Sunday (MoS) telah menemukan bukti bahwa tempat-tempat krematorium di Wuhan, Tiongkok menyalakan tungku selama 24 jam penuh pada Februari lalu. Wuhan dengan pasar hewannya yang terkenal diyakini sebagai lokasi awal munculnya virus corona.

Warga Wuhan meyakini jumlah sesungguhnya kematian akibat virus corona bisa 40 kali lebih tinggi. Sebab, saat puncak pandemi pada Februari lalu, krematorium di Wuhan membakar puluhan ribu mayat.

Ada dugaan kuat bahwa penguasa Chin memanipulasi statistik tentang jumlah korban jiwa akibat virus corona di Provinsi Hubei. Tujuannya adalah mempercepat pemulihan aktivitas usaha dan Tiongkok memimpin perekonomiian saat negara-negara lain masih terpuruk akibat pandemi.

Negeri Tirai Bambu itu baru saja mengakhiri penguncian atau lockdown atas Wuhan pada Rabu lalu (8/4). Sesaat setelah lockdown di Wuhan dicabut, ada puluhan ribu guci berisi abu hasil kremasi mayat korban COVID-19 yang dikirimkan ke pihak keluarga.

Namun, keluarga korban diperintahkan melakukan upacara pemakaman secara cepat dan diam-diam. Koresponden MoS mengungkapkan, beberapa orang mengatakan jumlah pasti korban jiwa akibat COVID-19 di China sepuluh kali lebih besar dari angka rang dirilis pemerintah.

“Yang lainnya malah mengatakan seharusnya dikalikan 40. Mereka mengirimkan 40 ribu guci pemakaman ke Wuhan, sehingga seriap orang tahu bahwa pemerintah berbohong,” ujarnya.

Selain itu, Partai Komunis yang menguasi Tiongkok diduga memanipulasi informasi untuk propaganda. Setelah Presiden China Tiongkok Xi Jinping mengunjungi Wuhan pada 10 Maret lalu, ada pemberitahuan kepada rumah sakit di ibu kota Provinsi Hubei itu untuk memulangkan pasien sebagai bentuk deklarasi kemenangan dalam melawan virus corona.

Tokoh pembangkang Tiongkok Jennifer Zeng mengaku menerima informasi dari banyak sumber di negerinya bahwa sedianya 15 rumah sakit akan dibangun di Wuhan untuk mengatasi jumlah korban COVID-19.

“Namun setelah kunjungan Presiden Xi, para pejabat tiba-tiba mengumumkan bahwa pasien rumah harus segera dipulangkan,” ujarnya.

Zeng pernah menjadi peneliti di Dewan Negara di Beijing. Namun, dia ditahan dan diasingkan karena berhubungan dengan gerakan spirutual Falun Gong yang dilarang di China.

Menurut Zeng, para pasien dibebaskan tanpa menjalani diagnosis dan tes yang layak.

“Mereka (penguasa China, red) ingin kota segeral kembali dibuka untuk aktivitas ekonomi, jadi mereka berpura-pura bahwa virus sudah sepenuhnya terkendali,” katanya.

Lebih lanjut Zeng mengaku telah melihat video setelah lockdown di Wuhan dicabut.

“Mayat-mayat dipindahkan pada malam hari, orang-orang ambruk di jalanan dan kami mendengar dari rumah sakit tentang 100 korban dalam seminggu terakhir,” katanya.

Zeng menegaskan, sekarang orang-orang menertawakan angka-angka yang disodorkan China. Namun, katanya, otoritas China tak punya pilihan selain meneruskan kebohongan karena sudah terlanjur.

“Partai Komunis China berbohong tentang jumlah sejak awal karena itu ada dalam DNA mereka,” katanya.

Merujuk bocoran laporan Central Intelligence Agency (CIA), para pejabat di lembaga telik sandi AS itu telah memberitahukan Gedung Putih bahwa China sangat mengecilkan kasus dan kematian akibat COVID-19.

Rezim komunis penguasa China diyakini sudah biasa memanipulasi data, termasuk menyulap angka gross domestic product (GDP) atau produk domestik bruto (PDB) demi memamerkan pertumbuhan ekonomi yang positif.[ida]