Penggunaan kebijakan darurat sipil oleh pemerintah dalam menangani masifnya wabah Covid-19 di tanah air adalah langkah yang kebablasan. Hal yang perlu diingat, darurat sipil hanya bisa diterapkan dalam kondisi ketertiban dan keamanan negara tidak terkendali.
- Pakistan Larang Media Tayangkan Pidato Mantan PM Imran Khan
- Dibuka Besok, Berikut Cara Lengkap Daftar Sekolah Kedinasan Tahun 2022
- Kepala Polisi Nara Jepang Akui Kecacatan Keamanan Sebabkan Pembunuhan Shinzo Abe
Baca Juga
Begitu tegas Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Mukhaer Pakkanna kepada Kantor Berita politik RMOL sesaat lalu, Selasa (31/3).
“Saya kira saat ini di tengah wabah masif ini negara masih aman dan stabil. Maka langkah karantina wilayah atau pembatasan sosial masih jauh lebih tepat,” terangnya.
Menurutnya, rakyat Indonesia sudah sadar tentang arti pentingnya dampak wabah Covid-19 ini. Mereka bahkan sudah bersiap jika ruang geraknya dibatasi dalam konteks social distancing atau physical distancing. Pertimbangan rakyat, khususnya yang berprofesi sebagai pekerja informal dan harian, hanya satu yaitu cara melanjutkan denyut nadi kehidupannya.
“Bagaimana agar asap dapur tetap mengepul? Rakyat butuh makan, bukan darurat sipil,” tutur Mukhaer.
Atas alasan itu, pemerintah melalui aparat dan regulasi yang dibuat seharusnya menjamin ketersediaan pangan dan sembako selama masa karantina. Semua itu perlu melibatkan perangkat RT, RW, Desa, kelurahan dan dikoordinir oleh Pemda. Pemerintah, sambungnya, tidak boleh lepas tangan untuk memproteksi atau melindungi rakyatnya.
Mukhaer yakin pemerintah punya database tentang rakyat yang perlu dibantu. Termasuk, pihak mana saja yang perlu diberikan stimulasi untuk menggerakkan ekonomi keluarga dan negara.
“Jangan sampai dalam masa karantina wilayah, rakyat mati kelaparan. Ini tanggung jawab sosial kita semua,” ujarnya.
Atas alasan itu semua, Mukhaer berpendapat bahwa langkah yang tepat diambil pemerintah adalah karantina wilayah. Dia pun mendesak agar presiden segera mencabut kebijakan darurat sipil yang justru membahayakan nasib rakyat.
“Bahkan, jika tidak dicabut, suasana akan makin mencekam. Yang bukan tidak mungkin suasana social disorder akan meletus. Rakyat hanya butuh keberlanjutan pangan dan sembako,” demikian Mukhaer Pakkanna.
- Harga Hotel Tembus Rp 1,4 Juta Per Malam, Pengungsi Sudan Pilih Buat Tenda di Pinggir Pantau Laut Merah
- Ini Perubahan Tata Tertib dan Kode Etik DPRD Pagaralam
- Tunisia Bongkar Jaringan Perdagangan Organ Manusia Internasional